Yang aku ingat dari laki-laki ini adalah percakapan yang mengalir, banyaknya pertanyaan mengenai kehidupan, dan tawa lepas, dengan waktu yang terbatas saat malam hari, seusai kerja. Aku di balkon menyesap rokokku dan bir dingin seraya memandang cahaya kecil yang menyinari rumah-rumah di selatan Jakarta dan dia di sofa.
Kami hanya dua kali bertemu, sebelum terlibat dalam percakapan yang panjang dan mengalir. Aku rasa ia tidak akan mengingatku jika aku tidak mencoba mendekatkan diri. Aku sempat mundur karena ia sedang mabuk kepayang dengan seseorang. Tapi ya aku pikir apa salahnya menambah teman.
Laki-laki ini seperti lagu August yang dia suka dari album “Folklore”-nya Taylor Swift. Ritmenya sederhana dengan petikan gitar yang ringan, menenangkan, tidak terburu-buru, dan tiap nada dapat dinikmati dengan mudah. Ia pun begitu, simple, tenang, santun dan lembut.
Di balik gayanya yang tenang, pikirannya penuh dengan banyak hal soal apapun dan ia selalu aktif. Meski terkadang ia mengaku kalau sebetulnya ia senang bersantai dan main game sepanjang hari. Yang aku tahu ia selalu aktif. Bahkan dalam pikirannya, ia seakan mencari sesuatu, menjelajahi pikiran orang lain, untuk mencari kebenaran yang lebih dalam, makna yang lebih besar, dan koneksi yang lebih memuaskan. Ia petualang yang menyukai hal yang berbeda dan penuh makna.
Saat kami menghabiskan waktu, ia pernah bertanya “Apa arti kebahagiaan buat lo?” dan “Lo happy dengan pekerjaan lo?” yang membuatku menjelaskan dengan panjang lebar karena aku menyukai mendeskripsikan suatu hal.
Ia juga pernah bertanya mengenai kisruh Omnibus Law, aku lupa pertanyaan tepatnya tapi ia menanyakan hal seperti “Jadi demo itu benar dong?” yang kemudian aku lanjutkan dengan penjelasan panjang mengenai bukan benar atau salah tapi prinsip bahwa ada suatu aturan besar yang mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia dan aturan tersebut dibuat dengan tergesa-gesa tanpa mengikuti tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan yang ideal.
Rasa ingin tahunya sangat besar walaupun terkesan dia seperti tidak peduli terhadap suatu hal. Ia hidup dalam kenyamanan. Anak laki-laki satu-satunya dengan kakak dan adik perempuan yang terpaut tak terlalu jauh, lajang, tinggal bersama orangtuanya tapi juga memiliki satu unit apartemen. Anak selatan Jakarta yang tidak terjebak dengan kondisi sandwich generation. Ia paham bahwa hidup itu terkadang keras dan sulit tapi ia tidak (atau belum) benar-benar merasakannya. Ia juga tidak (atau belum) memiliki tanggung jawab yang besar. Hidupnya cenderung tenang tanpa ada konflik atau drama yang pelik. Semua dapat tertangani dengan baik. Ia pun nyaman dengan hidupnya. Ia seperti anak remaja yang bebas tanpa ada tanggung jawab yang besar dan penuh dengan kenyamanan. Menurutnya, “banyak yang iri sama gw”. Ya, akupun iri hehehe
Apa yang aku suka dari anak ini? Rasa ingin tahunya yang besar dan gayanya yang seperti anak kecil yang membuatku menjadi sosok dewasa yang ingin berbagi pengalaman dan orang yang selalu ada buat dia saat dia ingin meminta masukan ataupun seorang pendengar saat ia hanya sekedar ingin bercerita. Semangat dan hasratnya saat ia bercerita mengenai detil pekerjaannya yang tidak biasa memikatku sebetulnya. Aku juga sangat menikmati percakapan ringan atau cerita-cerita mengenai kebodohan kami di masa lalu, bercanda dengan dia dan tertawa hingga keluar airmata.
Yang berbeda dari hubunganku sebelumnya, bersama laki-laki ini semua terasa lembut, perlahan dan tidak terburu-buru, bahkan ciumannya pun terasa lembut, seperti mencium bibir bayi mungil dan wanginya pun tidak menusuk hidung. Aku membiarkannya menjadi dirinya, tidak penuh dengan kepalsuan. Aku menikmati semua percakapan ringan dengannya, bercanda dan tertawa, dan momen di saat malam walaupun hanya beberapa kali. Semuanya terasa ringan dan menyenangkan.
Sampai pada satu hari semua terasa berbeda, dia seakan menjauh, akupun mengikuti ritmenya, menjauh juga. Ada pertanyaan tentu saja, tapi rasanya terkadang kita tidak perlu bertanya kenapa dan mengetahui alasannya. Mungkin pada saat itu, dia hanya butuh seseorang untuk menemaninya, orang baru, orang asing yang tak mengenal dia. Mungkin juga, pada saat itu, dia ingin mengalihkan perhatiannya ke seseorang yang selalu menyambutnya dengan penuh perhatian dan seperti teman lama. Mungkin juga pada saat itu memang kami harus bertemu dan berinteraksi satu sama lain.
Terasa pahit sebetulnya, karena aku merasa ada chemistry dan koneksi di sana dengan mencoba sedikit terbuka dan sharing pengalamanku atau hal-hal yang aku pahami agar ia dapat berpikir jernih dalam melakukan sesuatu, walaupun tidak semuanya tentang diriku aku ceritakan padanya. Aku juga membuat batasan agar tidak ada hal yang mendalam atau menyakitkan untukku. Aku berusaha menjaga hal tersebut tapi aku juga tetap menghargainya dengan menanyakan apakah dia nyaman dan memintanya untuk memberitahuku jika ada hal-hal yang membuatnya tak nyaman. Paling tidak, aku berusaha jujur. Dari sisi dia, walaupun dia bercerita banyak hal mengenai isi pikirannya, kegelisahan dia dan mengatakan tidak ada masalah dengan batasan yang aku sebutkan, ternyata dia tidak seterbuka itu. Bagiku, aku tidak merasa kehilangan sesuatu yang tak pernah kumulai. Pun dari awal kami sama-sama asing dan terhubung karena teman kami.
Apapun itu, aku berharap dia bisa menjadi seseorang yang tulus pun tetap menjadi anak laki-laki yang simple, tenang, santun, lembut, lucu dan apa adanya dengan rasa ingin tahunya yang besar di tengah kenyamanan hidup. The restless soul.
Aku ingin mengingatnya seperti itu dan dalam ingatanku juga, anak laki-laki ini masih seperti lagu August. Seperti kisah singkat yang hangat di musim panas yang telah berlalu. “Cause you were never mine”.