Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, hari raya tahun ini terasa sunyi. Biasanya, sejak malam, beduk dan takbir bersahut-sahutan, anak-anak keliling kampung dan mencuri peluang untuk tidur larut.
Biasanya, di pagi hari raya juga riuh orang berjalan ke Masjid. Menunaikan shalat satu tahun sekali. Kami yang perempuan shalat di Majelis khusus perempuan. Seusainya, orang-orang tua menangis. Dengan penuh airmata dan peluh, mereka menciumi pipi kami yang masih muda. Aku selalu menyiapkan tissue untuk itu.
Berjalan pulang ke rumah lebih seru lagi. Dari rumahku ke Majelis hanya 10 menit berjalan kaki. Tapi, karena berpapasan dengan para tetangga yang selalu menciumi kami, waktu tempuhnya menjadi 40 menit.
Sampai di rumah, sarapan, mandi, lalu tradisi sungkem dimulai. Tak lama, tetangga akan mampir dan meminta maaf. Selanjutnya, kami sekeluarga akan berkeliling, memberikan berlembar-lembar uang yang masih licin dan wangi ke anak-anak kecil dan singgah di rumah nenek, tetua yang menghabiskan seluruh hidupnya di kampung ini.
Hal yang biasanya itu tidak terjadi di tahun ini karena pandemi.
Hari ini, meski sunyi tapi tetap riuh. Di dalam rumah. Riuh memanaskan rendang, semur, opor, dan ketupat. Riuh memandikan Keajaibanku yang lahir normal dari vaginaku. Riuh berfoto. Riuh mengirim dan membalas pesan “Mohon maaf lahir dan batin”. Lalu, sunyi kembali.
Keajaibanku pergi ke tempat ibu pengasuhnya. Orangtuaku tidur. Adikku dan keluarganya juga tidur. Aku pun masuk ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Membaca pesan, melihat akun media sosial, dan melihat satu nama dalam cerita foto yang aku tampilkan.
Masih dalam ruang berdamai dengan diriku dan menyayanginya, aku melawan afeksiku, seperti melepas genggaman tangan saat situasi canggung. Mengingat perlakuannya dan apa yang sudah aku lakukan terhadapnya. Kemudian, aku terlelap. Ponselku terus berdering membangunkanku. Seseorang dari masa lalu mengucapkan maaf. Tidak ada rasa, jadi aku membalas balik maafnya.
Aku melihat banyak notifikasi di layar ponsel. Semua normal. Aku membuka aplikasi pesan dan ada satu pesan yang sengaja aku buat sunyi. Dari dia. Pesan biasa, tidak ada yang istimewa seperti pesan untuk yang lainnya, yang mungkin ia salin-tempel dan menambahkan namaku. Kembali melawan afeksiku. Khair Mubarak. Mohon maaf lahir dan batin, aku masih butuh waktu untuk memulihkan diri. Selamat merayakan hari bahagia ini.