Trauma

Dulu, 16 tahun lalu, ketika mendengar cerita dari ibu bahwa kinerja perusahaan ayahku mulai menurun, aku termangu. Mobil kami mulai dijual untuk membantu perusahaan membayar gaji karyawan, beberapa aset kami dijual. Hidup seperti terbalik, masa sulit keluarga kami dimulai. Pertengkaran demi pertengkaran seakan menjadi makanan sehari-hari di rumah. Saat itu, tahun terakhirku di universitas.

Menjalani hari di dalam kampus menjadi pelarian manis buatku. Selain kuliah yang merupakan kewajibanku kepada orangtua, momen berdiskusi mengenai buku, film, dan musik atau hanya sekedar ngobrol panjang mengenai hal remeh temeh menjadi hal yang sangat menyenangkan buatku. Pulang larut malam, tanpa mobil pribadi. Sambil mendengarkan musik dari walkman atau discman Sony (Tergantung aku mau mendengarkan kaset atau compact disk pada hari itu), aku sangat menikmati jalan kaki di tengah gemerlapnya cahaya-cahaya dari gedung-gedung perkantoran di pusat Jakarta. Menengadahkan kepala melihat ujung gedung-gedung tinggi dan langit malam kota Jakarta yang berpolusi sambil menghela napas.

Terkadang, sambil menunggu bis, aku duduk di halte depan pusat perbelanjaan tertua di Jakarta atau duduk di depan hotel yang dibangun kala Orde Lama masih berkuasa dan melihat sekeliling. Melihat cahaya kota di saat malam, melihat orang berlalu-lalang, melihat mobil yang berjalan lambat dengan meneriakkan klakson yang sebetulnya tak perlu. Melihat itu semua, cukup menenangkan diriku.

Pada satu waktu, saat aku duduk di kawasan Dukuh Atas dan menikmati malam, melihat sibuknya jalan raya saat jam pulang kantor, seorang perempuan berdiri di dekatku. Berpotongan rambut bob, ia tampak begitu modern, begitu glamor dengan anting lingkaran ala Jennifer Lopez dan mengenakan baju terusan merah yang membentuk badan, sleeveless dan sepatu hitam mengkilat berhak sekitar 7 cm. Sambil menenteng tas hitam dengan aksen emas, ia sesekali melihat jam tangan mungil di pergelangannya dan tersenyum. Wajahnya terlihat segar dengan lipstiknya yang menyala. Perempuan itu menyetop taksi biru dan masuk ke dalamnya. Ia berlalu. “Aku ingin seperti dia. Perempuan yang sepertinya karirnya cemerlang dan tak ada beban hidup,” pikirku.


Tahun 2017, di suatu malam yang hangat, di penghujung bulan April, aku duduk kembali menikmati malam, tapi kali ini aku tidak duduk di trotoar jalan utama kota besar ini. Sendiri menikmati malam di salah satu bar&lounge di salah satu pusat perbelanjaan terkenal di Jakarta, menunggu seorang laki-laki yang pernah dekat denganku. “Hendrick’s double shoots, less ice,” kataku kepada pelayan di tengah riuhnya suara tawa. Saat itu aku membutuhkan minuman yang cukup kuat agar perasaan menjadi sedikit lebih ringan.

Tahun itu adalah tahun yang penuh emosi dan meninggalkan luka yang cukup mendalam untuk mentalku. Bekerja di salah satu perusahaan asing sebagai media relations merangkap admin merangkap external communications specialist merangkap sand sacks. Kondisi keuangan mulai membaik, tapi jam kerja juga meningkat. Jam 7 pagi sudah sampai di kantor, menyeruput kopi pagi agar kepala tegak dan tetap tersadar, mengerjakan banyak dokumen yang semuanya urgent, berhenti sesaat di jam makan siang, menyelinap sebentar untuk menghirup racun nikotin dan tembakau agar tetap waras, kembali lagi ke meja kerja dengan to do list yang panjang dan, sekali lagi, semuanya urgent, mendengar teriakan-teriakan yang menyakitkan telinga dan menjatuhkan mental, mengerjakan berbagai macam dokumen, melakukan review, hingga jam 9 malam bahkan jam 11 malam terkadang. Rutinitas yang melelahkan mental dan fisik.

Dunia kerja, buatku, terbagi menjadi dua sisi: orang-orang yang beruntung mencapai posisi tinggi tanpa harus bersusah payah dan orang-orang macam aku yang harus bekerja keras untuk naik posisi. Dari dua sisi itu, terbagi lagi menjadi: orang-orang yang memang bekerja keras menyelesaikan berbagai macam tugas yang diberikan dan orang-orang yang memilih pekerjaan plus mengakui hasil pekerjaan orang lain sebagai miliknya hanya untuk merebut hati atasan. Office politic itu nyata sekali, sayang.

Kalimat-kalimat yang menyakitkan yang aku terima dan perlakuan yang tidak adil pada masa itu membuat emosiku naik-turun, dua kali masuk UGD karena gas asam lambung naik hingga ke jantung membuatku tak dapat bernapas, aku yang sangat tertata rapi dan terorganisir menjadi mudah lupa saking kewalahan dengan pekerjaan. Jika aku mendengar nada tinggi, hatiku mencelos dan kemudian muncul rasa takut atas tekanan yang menyerang bertubi-tubi. Kerap kali aku curhat dengan teman-teman terdekatku dengan penuh emosi dan airmata. “Sebegitu bodohnyakah aku? Sebegitu rendahnyakah pernah menjadi seorang jurnalis dulu hingga dianggap seenaknya dan tidak memahami aturan korporasi? Aku merasa intelektualitasku dilecehkan,” kalimat-kalimat itu terus-menerus aku lontarkan hingga, mungkin, teman-temanku lelah mendengarnya.

“Semua orang punya bebannya masing-masing. Tidak semua orang terlihat bahagia seperti senyumannya ataupun foto-fotonya di media sosial. Kamu tidak akan pernah tahu di balik senyuman seseorang, maybe he or she is struggling with money, struggling with relationship, job, or maybe drugs. You’ll never know,” kata kawan laki-lakiku setelah aku mencurahkan semua emosiku di suatu malam yang hangat di sebuah bar&lounge kawasan Senayan pada akhir April 2017 itu.

Setelah bertemu dengannya, yang aku lakukan kemudian, selain tetap berjalan menyusuri trotoar di jalan utama pusat bisnis Jakarta di saat malam dengan mendengarkan musik untuk menenangkan diri, adalah mengubah cara kerjaku menjadi autopilot. Aku mengerjakan apa yang diperintahkan tanpa berpikir, tanpa berinisiatif, tanpa membantah. Aku menjadi seorang yang egois, yang hanya fokus dengan pekerjaanku. Aku pikir, kenapa harus membantu orang lain karena mereka toh tidak membantu meringankan pekerjaanku padahal dulu aku membantu mereka. Tempat ini membuatku menjadi egois. Tapi, aku tetap menelan semua kata-kata yang menyakitkan dan menjatuhkan mentalku. Aku pikir, jika karma tidak ada, roda kehidupan tetap akan berputar. Apapun yang aku lakukan dengan baik, pasti akan ada hasil yang baik pula.

Tiga tahun berlalu, luka yang cukup dalam itu mulai pulih sedikit demi sedikit tapi memori yang menyakitkan itu membuatku menjadi egois dan rasa trauma itu masih ada.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s