
Delapan tahun lalu, saat aku masih bekerja di suatu media nasional, selepas senja, seperti biasa, aku menikmati kopi di salah satu sudut coffee shop favorit dekat gelanggang olahraga Jakarta. Sendiri, apakah menanti teman saat itu, aku lupa. Yang aku ingat, aku bertemu seorang teman yang duduk terpisah dariku, kemudian ada seorang perempuan muda masuk ke coffee shop tersebut terburu-buru dan duduk di sofa bersama temanku. Ia cantik, berambut pendek, pakaiannya sederhana, tidak ada yang istimewa dari pakaiannya, wajahnya bulat dan bibirnya pink tanpa lipstick. Sesaat setelahnya, muncul seorang laki-laki berparas manis yang bergabung dengan mereka dan, pada saat itu, aku hanya berpikir “ceweknya cantik tapi cowoknya biasa aja”.
Pada waktu yang bersamaan, teman-teman kerjaku sedang membicarakan satu gadis cantik yang bekerja di media berbahasa asing. Salah satu teman kerjaku menyukainya, kata teman-temanku. “Namanya Anggi”.
Beberapa saat setelahnya, pada saat konferensi pers di Kementerian Perdagangan, aku melihat perempuan cantik itu lagi. Ia duduk sederet denganku. Aku lihat kartu persnya. Anggi M Lubis. “Oh ternyata anak ini yang disukai temanku,” pikirku lagi.
Beberapa waktu berselang, aku bertemu lagi dengan Anggi di ruang pers Kementerian Pertanian. Ternyata dia mulai ditugaskan di situ. Aku menyambutnya seperti menyambut teman lama, mengajaknya mengobrol dan merokok. Aku tahu rasanya saat baru memasuki satu ruang pers tempat menulis hasil liputan yang akan dilakukan beberapa waktu ke depan mungkin dalam waktu lama, terasa asing dan tidak mengenal siapapun. Jadi saat ada jurnalis baru yang ditugaskan di tempat itu, aku selalu menyapanya terlebih dahulu.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk kami menjadi akrab. Kami sama-sama suka membaca dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap sesuatu, kami senang berdiskusi, bertukar pikiran. Mungkin itu juga yang membuat kami akrab. Ia membuatku terkagum-kagum dengan pengetahuannya yang luas, bukan cuma di satu bidang atau keilmuan, tapi banyak bidang termasuk soal horoscope, komik, anime, dan games. Tulisannya yang luwes dalam Bahasa Inggris yang sempurna juga membuatku terkesan. Aku pernah meminta bantuan Anggi melakukan review perjanjian kerjaku dengan perusahaan teknologi asal Amerika. Dari dia pun aku belajar banyak soal tata kalimat yang tepat dalam penulisan bahasa Inggris, horoscope secara mendalam, literatur Asia Timur, film korea yang bukan drama picisan, film-film berkualitas, Myers–Briggs Type Indicator sebelum banyak orang mengetahuinya dan banyak hal lainnya. Ia seperti Google. Ketika kita ingin tahu mengenai sesuatu, tanya ke Anggi dan dengan cepat ia akan menginformasikannya secara menyeluruh dan mendalam.
Dari persoalan negara, artikel, pekerjaan, pembicaraan kami pun meluas hingga ke masalah personal. Cerita mengenai tekanan dari editor serta keluarga masing-masing dan pasangan masing-masing sehingga kami menjadi sangat dekat. Bertemu hampir setiap hari, bahkan di hari Sabtu atau Minggu untuk menulis berita yang sengaja kami simpan untuk koran edisi Senin, menghabiskan waktu hingga larut untuk mengobrol mengenai apapun dan berdiskusi dengan berbatang-batang rokok dalam asbak. Anggi lupa kalau rokok yang ditaruh di asbak masih panjang dan dia mengambil rokok baru untuk dihisapnya. Karena itu, asbak kami selalu penuh.
Saking dekatnya kami, aku merasa Anggi cukup mengerti diriku. Sampai di satu momen, ingatanku agak kabur soal ini, aku sangat kesal karena aku sudah meluangkan waktu tapi Anggi tidak ada kabar. Emosiku memuncak, karena aku tepat waktu dan sangat menghargai orang lain. Anggi tahu betul sifatku dan kondisinya saat itu tidak memungkinkan memberiku kabar. Sepertinya itu pertengkaran pertama kami.
Aku sadar betul emosiku seringkali tak terkontrol dan sikapku terlalu keras untuk orang-orang sekelilingku. Pertengkaran pertama itu membuatku menjadi lebih memahami kondisi orang lain.
Menjalin persahabatan dengan Anggi, aku berusaha untuk membangun pertemanan yang sehat, apa adanya, jujur dan rasa percaya. Hal-hal yang aku suka dan tidak suka mengenai dirinya aku katakan terus terang, begitu juga dengan Anggi. Ia tahu cara menghadapiku, jika ada hal yang mungkin akan menyinggungku, ia akan mengatakan apa adanya, disertai permintaan maaf terlebih dahulu walaupun selanjutnya ia akan memilih kata yang cukup pedas. Aku merasa Anggi adalah satu-satunya orang yang tahu betul aku seperti apa, sifat-sifat burukku, isi otak dan jalan pikiranku, memberi masukan yang logic dan menerimaku apa adanya. Ia orang pertama yang aku beritahu kemungkinan besar aku hamil sambil marah-marah dan menangis setelahnya dengan menyesap rokok menthol kesukaanku.
Apakah kami selalu bersama? Dulu ya, setiap hari. Tapi, sepanjang persahabatan kami, ada masa-masa kami jarang atau bahkan lama tidak bertemu, mungkin mulai dari tahun 2016 hingga di sekitar tahun 2017 atau 2018. Ketika bertemu kembali aku merasa tidak mengenal Anggi yang cuek dan cukup kuat dalam berargumen dengan dasar yang sangat berlogika. Aku melihat Anggi seperti orang yang ummm linglung dan lemah. Sisi misteriusnya masih tampak jelas.
Aku pernah melihatnya seperti ini di sekitar tahun 2013-2014, namun pada saat itu kami masih bertemu setiap hari. Anggi menjalin hubungan jarak jauh dengan pacarnya (yang kini menjadi suaminya). Aku melihat Anggi sangat bergantung pada orang terdekatnya hingga membuatnya tidak fokus bekerja. Ia seakan menjadi sangat lemah dan tidak berdaya. Ia menceritakan banyak hal padaku, tapi aku merasa masih banyak yang dia simpan untuk dirinya sendiri. Mungkin ia tidak nyaman bercerita padaku, aku membiarkannya dan tidak memaksa.
Di tahun 2019, kami mulai bertemu beberapa kali walaupun belum sesering medio 2013-2014. Sepertinya pada saat itu, aku baru tahu seluruh cerita dari tahun-tahun sebelumnya, bahwa Anggi berjuang melawan dirinya sendiri dan hal negatif. Ia membutuhkan dukungan positif dari orang-orang di sekelilingnya. Awalnya aku tidak mempercayai mengenai senyawa yang ada di otak dan membuat seseorang tidak memiliki kendali atas dirinya. Aku percaya semua orang dapat mengendalikan dirinya. Dulu bahkan kami sering bercerita mengenai kepribadian masing-masing hingga urusan mental kami. Namun, aku mencoba memahami kondisi Anggi perlahan-lahan hingga dapat menerimanya. Aku mencoba menjadi pendengar yang baik, berusaha memberikan pengaruh dan dukungan positif. Yang membuatku kagum, meski ia berada di titik terendah dalam hidupnya (mungkin) tapi aku masih bisa berdiskusi dengannya mengenai apapun. Ia masih melahap berbagai macam buku, berbagai macam informasi, berita, peristiwa terkini.
Perempuan bernama Anggi M Lubis, dia menarik bukan hanya fisik tapi juga otaknya, pikirannya. Ia bukan tipe sahabat yang selalu bersama setiap saat, setiap waktu, ia suka menghilang tergantung suasana hatinya, lupa membalas pesan yang kukirimkan, tapi sekali bertemu dia, banyak cerita, informasi dan pengetahuan baru yang dia sampaikan. Ia adalah sahabat yang memperhatikan perjalanan hidupku sejak aku menjadi jurnalis hingga saat ini dan mengajarkan diriku menjadi manusia yang lebih baik. Seperti manusia lainnya, ia juga memiliki persoalan dalam hidup, mulai dari rasa traumatis di lingkungan terdekat, tekanan dari editor, hingga proses melawan dan akhirnya menerima dirinya sendiri. Tapi, perjalanan itu membuatnya menjadi perempuan yang kuat. Ia terlihat lemah, tapi ia punya kekuatan yang bisa menghancurkan orang-orang yang meremehkannya. Anggi tak perlu banyak berkata-kata untuk membalas orang-orang yang meremehkannya tapi tindakannya dan waktu yang akan mewujudkan pembalasannya.
Aku teringat di titik terendahnya, Anggi memintaku menuliskan hal positif mengenai dirinya dan menanyakan apakah hidupnya bermanfaat untuk orang lain? Sangat, Ji. Terutama untuk orang-orang terdekat lo. Just be the only Anggi M Lubis, si perempuan cerdas dan menarik.
Reblogged this on paracosmic.
LikeLike