Companionship vs Relationship

Pagi itu terik dan berangin, seperti telepon dari seorang teman dekat. “Hey B, I need to tell you something,” kata dia yang kemudian mengajakku ke kedai kopi terkenal di area kantor.

Closure,” ujarnya tenang saat menyesap rokok menthol kesukaannya. Beberapa detik kemudian mengalirlah cerita mengenai akhir dari seseorang di masa lalunya. Dan ia menyebutkan mengenai ‘Compassionate’ yang dalam artianku adalah ‘Companionship’. “Lebih lega. Mungkin sebetulnya yang aku butuhkan saat ini bukan relationship tapi companionship,” kata dia sambil tersenyum.

Aku dan dia kerap bercerita mengenai kisah-kisah romansa kami karena memang kami menyukai romansa. Namun, kami belum menemukan apa yang sebetulnya kami cari. Sosok yang datang dan pergi di hidup kami selalu memberikan perih. Tentu kami tetap tersenyum, bahkan menertawakan kebodohan kami. Tapi, sebetulnya, kami berdua mencari hal yang betul-betul kami butuhkan.

Kami membutuhkan percakapan yang panjang, baik percakapan ringan maupun percakapan yang dapat menstimulasi pikiran kami, kami membutuhkan gelak tawa yang membuat perut sakit dan tanpa sadar mengeluarkan airmata, kami membutuhkan nikmatnya suasana di suatu bar saat malam dengan bir dingin di tangan dan dentuman musik yang dapat melepaskan penat, kami juga membutuhkan pelampiasan hasrat yang dapat menenangkan kami. Kami membutuhkan hal-hal itu dan sosok yang menemani kami. Apakah artinya kami membutuhkan relationship dengan seseorang?

Beberapa kali kami membicarakan hal ini, setiap kali kami bertemu seseorang ataupun saat seseorang itu pergi dari hidup kami. Aku ingat di satu malam yang hangat di suatu restoran yang menjual bir dingin dekat dari stasiun MRT, kami meluangkan waktu hanya untuk berbicara mengenai kisah-kisah kami. Kami pernah menjadi seseorang yang passive aggressive, needy, clingy, dan menuntut banyak hal dari sosok-sosok tersebut. (Maaf, bahasaku campur aduk). Kami menyadari ketika banyak hal melibatkan perasaan, pada akhirnya hubungan dengan seseorang pun menjadi rumit, serba salah, dan mengecewakan. Hal kecil bisa menjadi besar, kami terlalu memikirkan hal yang sebetulnya sederhana tapi menjadi rumit. Pikiran kami pun menjadi tidak jernih karena apapun yang kami lakukan berlandaskan perasaan bukan logika.

Beberapa bulan ini aku mengalami proses mengenal dan memahami diriku sendiri. Hal-hal yang aku suka, hal-hal yang membuatku nyaman, hingga hal-hal yang membuatku gelisah dan ingin tidur terus agar merasa damai. Aku ceritakan hal ini ke teman dekatku itu, kami pun menyadari bahwa sebetulnya kami hanya membutuhkan companionship. Hubungan yang lebih dari teman karena ada ketertarikan di situ, ada ciuman, sentuhan, dan mungkin…sex. Namun, hubungannya juga tidak terlalu mendalam. Ada percakapan, tentu saja agar tidak canggung, tapi mungkin tidak ada peluk erat dan pesan “selamat pagi” atau pesan manis lainnya karena hal tersebut bisa mengikatkan perasaan kami pada romantisme yang bisa membuat segalanya rumit dan perih.

Tidak semua hubungan bisa menjadi relationship karena bagiku relationship seakan memiliki hak dan kewajiban karena ada komitmen di situ dan emotionally attached yang tentunya bisa membangkitkan rasa sakit. Companionship bisa menjadi hal yang menyenangkan, tidak ada hak dan kewajiban, cenderung santai, dan menyenangkan. Just keep it light and fun seperti pagi yang teduh dan menyegarkan. 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s